WELCOME TO MY STORY

u can see my story n share here about anything^^
Jangan berdo'a agar Tuhan menjauhkanmu dari masalah
Tapi berdo'alah agar Tuhan menguatkan hatimu untuk melalui masalah itu [!!]
"La Takhaf wa La Tahzan innallaha Ma'an"
Artinya: Jangan takut dan jangan bersedih, sesungguhnya Allah terus menerus mendampingi kita semua
Aku tidak mengatakan diriku adalah seorang ahli 'ilm (karena memang aku bukanlah ahlu 'ilmu
melainkan hanya penuntut 'ilmu), aku cuma ingin menunaikan perintah " balighul anni :)

Rabu, 30 Mei 2012

PARADIGMA ILMU ADMINISTRASI NEGARA ERA 1980-1990 DAN 1991-SEKARANG dan REFORMASI ORGANISASI NEGARA


Nama                           : Habibah Juniarti
NIM                            : 07101001031           
Fak/ Jur                       : ISIP/ Administrasi Negara
Mata Kuliah                : Administrasi Pembangunan 
Dosen Pengasuh          : Drs. Eko Budiwidjajanto, M.Si

PARADIGMA ILMU ADMINISTRASI NEGARA ERA 1980-1990 DAN 1991-SEKARANG
Kata “paradigma” akhir-akhir ini sudah menjadi bahasa yang tren dan dapat ditemukan dalam berbagai situasi baik  di dalam seminar-seminar, pidato-pidato, rapat kerja, diskusi forum ilmiah, atau dalam obrolan tidak resmi. Intinya, kata “paradigm” senantiasa menghiasi kajian administrasi dan manajemen di berbagai lembaga atau komunitas lainnya.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah paradigma diartikan sebagai (1) model dalam teori ilmu pengetahuan; (2) kerangka berpikir. Paradigma menurut Thomas Kuhn (Rewansyah, 2010) sebagai: “a paradigm is a made up of the general theoretical assumptions and laws and techniques for their application that the members of particular scientific community adopt”. Pengertian lain menyatakan bahwa: “a paradigm will always be sufficiently imprecise and open-ended to leave plenty of that kinds of work to be done”.
Ciri pokok paradigma adalah suatu pemikiran berdasarkan asumsi-asumsi terhadap dunia nyata di sekelilingnya (Rewansyah, 2010), yang lebih khusus lagi adalah sikap berpikir terhadap fenomena yang berkembang dari waktu ke waktu. Oleh karena itu Bernard S. Piliph (Rewansyah, 2010) menyatakan bahwa: “paradigm are set of assumptions, implicit or explicit about fenomena”. Dengan demikian paradigma mempunyai peranan untuk memberikan interpretasi terhadap fenomena yang diamati.
Untuk memahami paradigma lebih mendalam, Egon G. Guba (Rewansyah, 2010) mengemukakan tiga karakteristik paradigma, yaitu:
1) Paradigma yang bersifat ontological: what is the nature of the knowable? Or, what is the nature of reality?
2) Paradigma yang bersifat epistemological: what is the nature  of the relationship between the knower (the inquirer) and the known (or knowable)?
3)  Paradigma yang bersifat methodological: how should the inquirer go about findings out knowable?
Dalam perkembangan paradigma ilmu administrasi Negara dikenal adanya 3 kelompok utama paradigma:
(1) paradigma Old Public Administration (paradigma OPA),
(2) paradigma New Public Management (paradigma NPM),
(3) paradigma New Public Service (paradigma NPS).
Pada awal masa perkembangnya ilmu administrasi Negara mengalami beberapa pandangan dari beberapa ahli administrsi Negara.Ada 5 paradigma dalam ilmu administrasi Negara,kelima paradigma itu dikemukakan oleh Nicholas Henry  antara lain:
Paradigma 1: Dikhotomi politik-administrasi (1900-1926).
Paradigma 2 : Prinsip - prinsip administrasi negara (1927-1937).
Paradigma 3 : Administrasi negara sebagai ilmu politik (1950-1970)
Paradigma 4 : Administrasi Negara sebagai ilmu administrasi (1956-1970).
Paradigma 5 : Administrasi negara sebagai administrasi negara (1970 – sampai sekarang).

       Dalam paradigma antara ketiga dan keempat waktunya bersamaan terjadi dua peradigma.karena antara tahun 1950-1970 terpaut 20 tahun dan 1956-1970 terpaut 14 tahun logikanya dalam tahun 1950-1956 terpaut 6 tahun muncul paradigma yang ketiga yaitu administrasi Negara sebagai ilmu politik artinya pada masa itu.muncul ilmu politik yang pada kenyataanya menpengaruhi wacana public dan para pakar ilmu administrasi Negara  coba mengkaji dan menprlajari bagaimana perkembangan ilmu politik dan menemukan ternyata didalam ilmu administrasi Negara terdapat ilmu politik.Sebenarnanya dalam masa itu administrasi Negara sudah di pandang sebagai ilmu  karena administrsi Negara memiliki paradigma teoritis dan teori inti.Paragima yang ketiga sebenarnya sampai sekarang  pun masih digunakan,dan dijalankan,adminnistrasi Negara sebagai ilmu politik.karena sekarang pun dalam perateknya administrasi Negara mereka juga diberi kewenangan dalan membuat kebijakan dan mengambil keputusan dan itu pun juga yang  diambil dari ilmu politik.dalam hal mengambil keputusan dan membuat kebijakan.Politik  dan administrasi tidak dapat dipisahkan.karena orientasi politik dalam studi administrasi negara meletakkan administrasi negara sebagai satu elemen dalam proses pemerintahan. Administrasi negara dipandang sebagai satu aspek dari proses politik dan sebagai bagian dari sistem pemerintahan.Disini ilmu politik lebih mementingkan lokus(tempat)dimana ilmu administrsi Negara tertuju dimana dia berada tapi dia masih bias dalan hal focus,dalam hal ini administrasi Negara meletakan dirinya di pemerintahan sebagai pelayan public,administrasi negara sebenarnya harus tahu sasaran administrasi Negara(focus) yaitu sebagai pelayan public yang berazas keadilan.
          Dalam pekembangan selanjutnya pada tahun 1956-1970 yang terpaut 14 tahun,setelah muncul ilmu administrasi Negara sebagai ilmu politik,yang berkisar 6 tahun.setelah itu selama 14 tahun terjadi pengikisan paradigma dan pergeseran makna paradigm,yaitu admiinistrasi Negara sebagai ilmu administrasi.itu muncul karena pada masa itu berkambanglah ilmu administrasi dan wacana public di penuhi ilmu administrasi mao tidak mao seorang pakar administrasi Negara pun terbawa angin administrasi dia coba menyesuaikan dengan keadaan saat itu karena dalam kenyataan ilimu administrasi telah digunakan oleh public sebagai ilmu untuk mengatur pekerjaan dalam berbagai pekerjaan dan bagaiman cara berkelakuan.Pada saat itu masyarakat telah mengenal berorganosasi dan bagaiman cara menjalankan agar lebih efektif dan dari situ berkambanglah ilmu administrasi yang lebih cenderung mekankan bagaimana berorganisasi dan prilaku dalam organisasi itu untuk menjalankannya.Administrasi Negara yang kelompoknya bersifat  ikatan normative sosial dengan prosedur-proserdur yang ada coba mengembangkan dengan oaganisasi yang lebih condong ke ikatan structural.Dengan pengkajian ternyata para pakar menemukan kesamaan,dalam administrasi Negara juga diperlukan bagaimana cara individu atuupun kelompok dapat berprilaku dengan baik untuk berorganisasi dan bekerjasama dalan mencapai tujuan secara efektiv dan efisien dalam hak mensejahtrakan rakyat,dengan begitu dalam administrasi Negara terus mengadopsi ajaran atau paham yang dalam pengembang  administrasi Negara agar dpat membenahi sebagai ilmu yang utuh dan kuat berdiri sendiri ,mangkanya dia trus menakaji berbagai multidisiplin ilmu dan sampai sekarang administrasi Negara pun sebagai ilmu administtrasi Negara tetap mengkaji pekembang ilmu jaman sekarang dia beradaptasi tapi dengan bentuk  yang sama hanya isinya saja yang trus bermertamorforsis dengan perkembang ilmu dari jaman kejaman yang mengalami perubahan.

             
Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan mereka mendapat akses dan kemampuan untuk dapat menggunakan pelayanan publik. Akan tetapi permintaan akan pelayanan tersebut biasanya jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk dapat memenuhinya.
Desentralisasi adalah sebuah paradigma yang mencoba menggugat kelemahan-kelemahan yang ada pada diskursus sentralisasi. Pemusatan segala urusan publik hanya kepada negara, dengan jargon idealnya Walfare State, dalam realitasnya hanyalah sebatas retorika. Sebab, urusan pelayanan publik yang demikian kompleks, mustahil dapat diurus “secara borongan” oleh institusi negara.
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang/ kelompok orang atau institusi tertentu untuk memberikan kemudahan dan bantuan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Miftah Thoha, 1991). Sedangkan Handayaningrat (1988), membedakan antara pelayanan masyarakat yaitu aktivitas yang dilakukan untuk memberikan jasa-jasa dan kemudahan-kemudahan kepada masyarakat. Sedangkan satu lagi, adalah pelayanan umum (public service) yaitu pelayanan yang diberikan dengan memegang teguh syarat-syarat efisiensi, efektivitas dan penghematan dengan melayani kepentingan umum di bidang produksi atau distribusi yang bergerak di bidang jasa-jasa vital.
Jika dilihat dari segi dimensi-dimensi pelayanan dapat dibagi dalam beberapa jenis, misalnya Chitwood (dalam Frederickson, 1988) menyebutkan apabila pelayanan public dikaitkan dengan keadilan, maka bisa dibagi ke dalam tiga bentuk dasar, yaitu:
1.      Pelayanan yang sama bagi semua. Misalnya pendidikan yang diwajibkan bagi penduduk usia muda.
2.      Pelayanan yang sama secara proporsional bagi semua, yaitu distribusi pelayanan yang didasarkan atas suatu ciri tertentu yang berhubungan dengan kebutuhan. Misalnya jumlah polisi yang ditugaskan untuk berpratoli dalam wilayah tertentu berbeda-beda berdasarkan angka kriminalitas.
3.      Pelayanan-pelayanan yang tidak sama bagi individu-individu bersesuaian dengan perbedaan yang relevan. Ada beberapa kriteria mengapa pelayanan itu tidak sama antara lain: satu, pelayanan yang diberikan berdasarkan kemampuan untuk membayar dari penerima pelayanan. Dua, penyediaan pelayanan-pelayanan atas dasar kebutuhan-kebutuhan.
Berkembangnya ragam pelayanan publik dan kian tingginya tuntutan pelayanan publik yang lebih efisien, cepat, fleksibel, berbiaya rendah serta memuaskan, akan menjadikan negara pada posisi “kewalahan” manakala masih tetap memaksakan dirinya sebagai satu-satunya institusi yang “paling syah” dalam memberikan pelayanan. Bahkan jika ia tetap menempatkan diri sebagai agen tunggal dalam memberikan pelayanan, pastilah akan berada pada posisi “payah”. Karena itu, emngurus sesuatu yang semestinya tidak perlu diurus, haruslah ditinggalkan oleh negara; agar lebih berkonsentrasi pada urusan-urusan yang lebih strategis dan krusial.
Karena itu, konsep desentralisasi sebenarnya bermaksud untuk mengurangi beban negara yang berlebihan dan tidak semestinya. Ia merekomendasikan berbagai hak, wewenang, tugas dan tanggungjawab dengan masyarakat (baik terorganisir maupun tidak) dalam mengurusi dan memberikan pelayanan publik agar tidak semakin “kepayahan”. Bahkan ia memberikan rekomendasi agar rakyat diperbolehkan mengurusi dirinya sendiri; dan tidak serba menyerahkan segala urusannya kepada negara.
Pengertian desentralisasi dan otonomi, sampai saat ini sebenarnya masih terdapat banyak pendapat. Setiap orang mempunyai tafsiran yang berbeda terhadap “istilah” yang disebut dengan desentralisasi dan otonomi ini. Sebagai akibatnya, terdapat beragam pengertian yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.
PBB misalnya, pada tahun 1962 mengartikan desentralisasi sebagai (1) dekonsentrasi, yang juga disebut desentralisasi birokrasi atau administrasi, dan (2) devolusi yang sering juga disebut sebagai desentralisasi demokrasi atau politik, yang mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada perwakilan yang dipilih melalui pemilihan lokal.
Di lain pihak, Lemieux (dalam Zuhro, 1998) menyatakan bahwa secara konseptual, desentralisasi dn otonomi dipandang sebagai suatu hak dan kewenangan daerah untuk mengatur dirinya sendiri, baik yang menyangkut keputusan administrasi maupun keputusan politik dengan tetap memperhatikan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan menurut Rondinelli, (1981) menyatakan bahwa desentralisasi sebagai : “The transfer or delegatian of legal and outhority to plan, make decisions and manage public functions from the central governmental its agencies to field organizations of those agencies, subordinate units of government, semi autonomous public corporation, area wide or regional development authorities; functional authorities, autonomous local government, or non-governmental organizational” (desentralisasi merupakan transfer atau pendelegasian wewenang politik dan hukum untuk merencanakan, membuat keputusan dan memanage fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat dan lembaga-lembaganya terhadap organisasi-organisasi di lapangan dari lembaga-lembaga tersebut, unit-unit pemerintah, otoritas pembangunan regional; wewenang fungsional; pemerintah-pemerintah otonomi lokal; atau lembaga-lembaga non-pemerintahan).
Berdasarkan pendapat tersebut desentralisasi dikategorikan atas tiga kategori, yaitu:
1). Dekonsentrasi,
2). Delegasi,
3). Devolusi,
Dekonsentrasi pada dasarnya merupakan bentuk desentralisasi yang kurang ekstensif, yang sekedar merupakan pergeseran beban kerja dari kantor-kantor pusat departemen kepada staff, itu mungkin tidak diberikan kewenangan untuk merumuskan bagaimana yang dibebankan kepadanya harus dilaksanakan.
Delegasi adalah bentuk desentralisasi dalam wujud pembuatan keputusan dan kewenangan-kewenangan manajemen untuk menjalankan fungsi-fungsi publik tertentu pada organisasi-organisasi tertentu dan hanya dikontrol secara tidak langsung oleh departemen pusat.
Devolusi diartikan sebagai wujud kongkrit dari desentralisasi politik (political decentralization). Ciri-ciri pokok dari devolusi ini antara lain :
Pertama,    diberikan otonomi penuh dan kebebasan tertentu kepada pemerintah lokal, serta kontrol yang relatif kecil dari pemerintah pusat terhadapnya.
Kedua,      pemerintah lokal ini harus memiliki wilayah dan kewenangan hukum yang jelas dan ebrhak untuk menjalankan segala kewenangan hukum dan berhak menjalankan fungsi-fungsi publik dan politiknya (pemerintahannya).
Ketiga,      pemerintah lokal harus diberikan “corporate status” dan kekuasaan yang cukup untuk menggali sumber-sumber yang diperlukan untuk menjalankan semua fungsi-fungsinya.
Keempat,   perlu mengembangkan pemerintah lokal sebagai institusi, dalam arti bahwa ini akan dipersiapkan oleh masyarakat lokal sebagai organisasi yang menyediakan pelayanan yang memuaskan kebutuhan mereka sebagai satuan pemerintah dimana mereka mempunyai hak mempengaruhi keputusan-keputusan.
Kelima,      devolusi mensyaratkan adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan serta koordinasi yang efektif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Uphoff (1998) merekomendasi keterlibatan tiga sektor dalam memberikan pelayanan publik, ialah sektor negara (government/state), pasar (market) dan Non Government Organization (NGO)/Grassroot Organization/civil institution. Bahkan ia memandang bahwa keberhasilan suatu pembangunan banyak bergantung kepad rekayasa sinergi yang positif di antara ketiganya. Ketiganya merupakan institusi yang saling melengkapi dan berhubungan.
        Pada sektor pemerintahan: (1) yang menjadi mekanisme pengendali adalah organisasi birokrasi yang berlevel mulai dari pusat sampai ke desa, (2) sebagai pengambil keputusan adalah para administrator yang dikelilingi oleh elit ahli, (3) dalam memberikan layanan mendasarkan kepada aturan-aturan birokrasi (perundang-undangan), (4) kriteria keberhasilan keputusan adalah banyaknya kebijaksanaan yang berhasil diimplemenasikan, (5) dalam memberlakukan sangsi mempergunakan kekuasaan negara yang mempunyai sifat memaksa, dan (6) modus operandi layanan mendasarkan mekanisme yang berasal dari atas (top down) atau pemerintahan sendiri.
        Pada sektor privat: (1) mekanisme pengendali layanan publik mengandalkan proses pasar, (2) pengambilan keputusan dilakukan oleh individu, para penabung dan investor, (3) pedoman perilaku adalah kecocokan harga, (4) kriteria keberhasilan keputusan/layanan adalah efisiensi yaitu memaksimalkan keuntungan dan atau kepuasan dan meminimalkan kerugian dan atau ketidakpuasan, (5) sanksi yang berlaku berupa kerugian finansial, (6) modus operandi pelayanan dilakukan oleh perorangan.
        Pada sektor sipil: (1) mekanisme pengendali pelayanan adalah suatu asosiasi sukarela, (2) pembuatan keputusan pelayanan dilakukan secara bersama-sama oleh pemimpin dan anggota, (3) pedoman perilaku adalah persetujuan anggota, (4) yang dijadikan sebagai kriteria keberhasilan suatu keputusan adalah terakomodasinya interes anggota, (5) sanksi yang ada berupa tekanan social anggota, dan (6) modus operandi pelayanan dilakukan dari bawah (bottom up).
Pada sektor ketiga, terdapat perbedaan antara Non Government Organization (NGO) dan Grassroot organization (GRO). NGO merupakan organisasi yang jaringannya sampai ke tingkat internasional. Karena itu, strukturnya juga jelas mulai dari tingkat internasional sampai ke tingkat individual. Sedangkan GRO atau organisasi akar rumput adalah suatu organisasi yang tumbuh dari bawah. Ia tidak terstruktur sampai ke tingkat internasional, bahkan tidak jarang, GRO ini tumbuh dengan tingkatan lokal belaka.
Dengan demikian, sebagai sumber pelayanan publik maka peranan negara sangat komplementer dengan mekanisme pasar maupun organisasi non pemerintah. Ketiga sumber pelayanan publik itu sama-sama diperlukan di dalam proses transformasi sosial ekonomi masyarakat. Masing-masing seharusnya bekerja secara komplementer di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat luas.
Pertimbangan utama untuk memberikan kekuasaan kepada mekanisme pasar dalam penyediaan dan pendistribusian kebutuhan masyarakat adalah karena mekanisme kerjanya yang sangat efisien. Kekuatan-kekuatan di dalam pasar bekerja dengan sangat efisien karena mereka dirancang oleh profit. Hanya mereka yang bisa bekerja secara efisien akan dapat menikmati profit. Mekanisme kerja pasar yang ditentukan oleh harga sangat berbeda dengan mekanisme kerja birokrasi karena birokrasi bekerja berdasar atas kewenangan dan monopoli; oleh karena itu mekanisme kerja birokrasi cenderung tidak efisien.
Namun demikian, tidak semua kebutuhan masyarakat dapat disediakan oleh pasar secara efisien. Adakalnya mekanisme pasar secara ekonomis tidak efisien dan secara sosial tidak dapat diterima sebagai suber pelayanan publik (economic and social market failures). Dalam penyediaan barang-barang kebutuhan umum (public goods and social goods) mekanisme pasar seringkali tidak bekerja secara efisien, karena mekanisme harga tidak bisa bekerja dengan baik (karena adanya eksternalitas atau karena persyaratan yang dibutuhkan untuk bekerjanya mekanisme pasar tidak terpenuhi). Dalam situasi yang demikian ini, kehadiran birokrasi pemerintah atau lembaga non pemerintah diperlukan sebagai salah satu alternatif penyedia pelayanan publik.
Kingsley (1996) merekomendasikan perlunya reformasi karakter Pemerintah Lokal (internal reform) dengan menerapkan beberapa teknik sebagai berikut:
(1)   performance measurement”, dengan terdapatnya catatan laopran yang jelas dari hasil-hasil kegiatan dan mengukur efisiensi relatif, misalnya dengan biaya/harga per unit pelayanan yang diberikan.
(2)   independent and objective audits”, baik terhadap performance dan managemen keuangan.
(3)   performance contracts”, dengan tetap menjaga hubungan yang baik dengan pihak lain (departemen, swasta atau NGOs).
(4)   decentralization of responsibility within government”, dengan membagi habis tugas-tugas dan memberikan target yang jelas terhadap pejabat-pejabat di bawahnya.
(5)   introducing customer orientation and access”, dengan mempublikasikan rencana-rencana dan laporan kegiatan, menetapkan “one-stop-shops” untuk memudahkan dalam pengurusan perijinan, dan sebagainya.
(6)   a competitive mode of service provision”, dengan cara yang kompetitif dalam memberikan pelayanan antara pemerintah, swasta dan NGOs. Ide-ide ini dikembangkan di negara-negara berkembang seperti India, Equador, Mexico, Ghana, dan sebagainya.
Dengan reformasi etrsebut diharapkan akan dapat membentuk masyarakat sipil (civil society) yan kuat dan terdapat “entrepreneurial leadership” untuk dapat memobilisasikan kelompok-kelompok di luar pemerintah dalam rangka pelayanan publik yang lebih baik.
KESIMPULAN:
        Dalam tahun 1950-1970 mengapa terjadi banyak pergeseran paradigma ilmu administrasi Negara,karena dalam tahun 1950-1956 ilmu administrasi Negara sebagai ilmu politik didominan dengan pergeseran cakrawala dunia tentang perkambangan ilmu politik mengadopsi dalam hal pemgambilan kebijakan dan keputusan.Berkembangmya jaman membuat pergeseran paradigma lagi,antara tahun 1956-1970 ilmu administrasi Negara sebagai ilmu administarsi dengan mengadopsi bagai mana cara berorganisasi dan cara bertingkah laku dalan beradministrasi.Kita bisa mengambil kesimpulam bahwa ilmu administrasi ingin terus memenuhi kebutuhanya tentang teori-trori dan konsep sehingga administrasi Negara menjadi ilmu yang utuh dam berdiri sendiri .karena dalam imu yang untuh harus menpunyai beberapa teori dan konsep untuk menyangga ilmu itu agar mampu berdiri sendiri dengan mengadopsi teori-teori dalam ilmu lain yang memilaki hubungan dengan dministrasi Negara.
Dari mengadopsi dari ilmu politik maka administrasi Negara memiliki teori dalam mengambil keputusan dan kebijakan dalam menjalankan peraturan yang telah dibuat Negara setelah iti administrasi Negara mendapatkan teori dari ilmu administrasi dalam hal cara bertingkah laku agar dalam penangannanya seorang admistrasi negara bersikap jujur dan adil dalam menjalankan tugas yang telah diberi amanat oleh Negara untuk melayani rakyat.Hubungan  dalam tahun yang bersamaan terjadi dua paradigma karena administrasi Negara setelah mendapat kewenangan dalan hal mengambil kebijakan dia harus mengambil kebijakan dengan berfikir melingkar.adil,jujur, mementingkan kepentingan umum dst,itu perpaduan antara paradigma yang ketiga dan keempat,karena pada saat itu wacana public tentang cara mengambil kebijakan dan beprilaku dalam mengambil kebijakan itu .Semunya pergeseran paradigma mengalami hubungan yang saling bersinergi dan membentuk wajah yang utuh dalam arti ilmu administrasi Negara adalah multidisiplin dari beberapa ilmu,mutidisiplin ilmu sebagai sangga dalam berdirinya ilmu administrasi Negara sebagai administrasi Negara.

REFORMASI PENGORGANISASIAN NEGARA
Sebagaimana kita cermati bersama bahwa tahun 1997-1998 merupakan fase peralihan dari orde baru ke orde reformasi. Orde Baru ditandai dengan perilaku pemerintah yang kental dengan perilaku feodal dan birokratis yang disertai dengan perilaku masyarakat yang tunduk kepada penguasa saat itu. Baik penguasa maupun masyarakat ketika Orde Baru tunduk terhadap sistem pemerintah yang sentralistik. Sementara itu, Orde reformasi ditandai dengan perubahan paradigma kehidupan secara multidimensi berbagai sisi kehidupan seperti kehidupan sosial, politik, hukum, ekonomi, dan ketatanegaraan. Perubahan paradigma tersebut terjadi di antaranya karena peran pelajar dan mahasiswa yang ketidakadilan dan ketidaksetaraan hidup antara yang lemah dan yang kuat, antara masyarakat dan penguasa. Alhasil, puncaknya pada tahun 1998 runtuhnya rezim Orde Baru yang ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto dari tahta kekuasaan pada Pelita VI yang diharapkan sebagai tahap tinggal landas.
Dari perkembangan orde reformasi menarik untuk dibahas perubahan paradigma perpolitikan dan ketatanegaraan negeri ini. Dunia perpolitikan Indonesia setelah bergulirnya orde reformasi ibarat keran air yang asalnya hanya dikocorkan secara tersendat-sendat, sekarang dikocorkan dengan sebesar-besarnya sehingga bercipratan ke mana-mana. Diawali dengan dibuatnya UU Partai Politik Nomor 31 Tahun 2002, kemudian diganti dengan UU Partai Politik Nomor  2 Tahun 2008, sistem kepartaian yang semula di orde baru menganut sistem partai tunggal (monoparty), pada orde reformasi ini berubah menjadi sistem banyak partai (multiparty). Dengan dengan terbukanya keran politik itu, para penggiat politik berlomba-lomba mendirikan partai dengan segala atributnya ditawarkan kepada masyarakat. UU Parpol No. 2 Tahun 2008 secara substantif mengatur ketentuan umum parpol, pembentukan parpol, anggaran dasar dan rumah tangga parpol, asas dan ciri, tujuan dan fungsi, hak dan kewajiban, keanggotaan dan kedaulatan, organisasi dan tempat kedudukan, kepengurusan, pengambilan keputusan, rekrutmen politik, peraturan dan keputusan parpol, pendidikan politik, penyelesaian perselisihan parpol, keuangan, larangan, pembubaran dan penggabungan, pengawasan, serta sanksi.
UU Parpol itu kemudian didampingi oleh undang-undang lain yang mengatur pemilihan presiden dan wakilnya serta pemilihan kepala daaerah dan wakilnya. Satu hal yang diatur dalam undang-undang pemilihan pejabat negara itu adalah adanya kebebasan warga negara secara independen dapat mencalonkan diri dan/atau dicalonkan oleh masyarakat (bukan oleh partai poltitik) untuk bersaing dalam bursa pencalonan pejabat negara seperti presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, walikota dan wakil walikota, bupati dan wakil bupati. Setelah terbukanya pasangan independen dalam pemilihan pejabat publik tersebut membuat masyarakat mencari pembanding figur pejabat yang dibentuk oleh bukan partai karena pejabat yang selama ini dipasangkan oleh parpol nyaris tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Di sisi lain muncul pula asumsi di kalangan elit politik bahwa untuk menciptakan daya tawar politik kepada masyarakat, dipasangkanlah politisi dengan figur publik lainnya seperti artis. Tentu saja ketika seorang artis dipasangkan dengan politisi membawa dampak tersendiri bagi kedua pasangan itu satu sama lain.
Fenomena yang terjadi saat ini adalah terjadinya ketimpangan antara pejabat publik dari politisi yang didampingi oleh wakilnya dari kalangan artis. Ketimpangan itu antara lain ketika politisi sudah menguasai seluk beluk perpolitikan sementara artis (yang notabene masih awam politik) harus banyak mempelajari politik dan administrasi publik, sehingga si artis banyak keteteran dalam implementasi pembagian tugas di antara pasangan itu. Selain itu, pejabat dari kalangan politisi sudah memahami lika-liku masalah kebijakan publik, sementara si artis masih belajar tentang makna dan implementasi kebijakan publik yang harus dilakukan oleh pejabat negara itu. Yang terjadi adalah si artis (yang belum pengalaman politik) lebih banyak tersisihkan oleh pasangannya yang lebih menguasai sepak jerjang politik, dan yang ada adalah perasaan minder. Alih-alih untuk menghilangkan gengsinya itu si artis menggunakan alasan dirinya “merasa tidak cocok dengan pasangannya”.
Oleh karena itu, untuk menghindari kondisi hubungan yang tidak harmonis, pribadi yang menjadi figur publik jika merasa belum memiliki pengalaman politik sebaiknya pertimbangkan kembali untuk mendaftarkan diri atau dipasangkan baik oleh parpol maupun independen dalam bursa pemilihan pejabat negara. Jika alasan ini diikuti, setidaknya dapat menghindari deadlock pemerintahan dan bongkar-pasang pejabat di tengah jalan. Pertimbangan lainnya adalah masalah pemborosan anggaran jika harus terus melaksanakan pemilihanpejabat negara! Kapan melayani masyarakatnya? Kecuali, jika figur publik itu sudah membentengi diri dengan berkiprah dalam politik praktis sehingga memperoleh pendidikan politik yang berarti. Dengan memperoleh pengalaman berpolitik, figur publik kemungkinan akan memperoleh pengetahuan yang berhubungan dengan administrasi negara/publik. Kekecualian lainnya adalah si figur publik memperoleh pendidikan formal akademik disiplin ilmu sosial politik. Itu pun tetap harus memiliki pengalaman berpolitik.

Lembaga Pemerintahan Indonesia.


Lembaga pemerintahan Indonesia terdiri dari:
1. Lembaga pemerintahan saat ini
1.1. Lembaga tinggi negara.
Lembaga tinggi negara adalah institusi-institusi negara yang secara langsung diatur atau memiliki kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Sebelum amandemen UUD 1945, lembaga tinggi negara hanya terdiri atas:
  • Dewan Perwakilan Rakyat R.I. (D.P.R. R.I.),
  • Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia
  • Mahkamah Agung R.I. (M.A. R.I.),
  • Dewan Pertimbangan Agung R.I. (D.P.A. R.I.)
  • dan Badan Pemeriksa Keuangan R.I. (B.P.K. R.I.)
Setelah amandemen, Lembaga Tinggi Negara menjadi:
1.2. Kementerian negara.
      Kementerian (nama resmi: Kementerian Negara) adalah lembaga Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Kementerian berkedudukan di ibukota negara yaitu Jakarta dan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.

1.3. Lembaga pemerintah nonkementerian.  
Lembaga pemerintah nonkementerian, disingkat LPNK, (dahulu lembaga pemerintah nondepartemen, disingkat LPND) adalah lembaga negara di Indonesia yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu dari presiden. Kepala LPND berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden melalui menteri atau pejabat setingkat menteri yang mengoordinasikan.

1.4. Lembaga nonstruktural.
Lembaga nonstruktural (disingkat LNS) adalah lembaga negara di Indonesia yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi sektoral dari lembaga pemerintahan yang sudah ada. LNS bertugas memberi pertimbangan kepada presiden atau menteri, atau dalam rangka koordinasi atau pelaksanaan kegiatan tertentu atau membantu tugas tertentu dari suatu kementerian.vbLNS bersifat nonstruktural, dalam arti tidak termasuk dalam struktur organisasi kementerian ataupun lembaga pemerintah nonkementerian. Kepala LNS umumnya ditetapkan oleh presiden, tetapi LNS dapat juga dikepalai oleh menteri, bahkan wakil presiden atau presiden sendiri. Sedangkan nomenklatur yang digunakan antara lain adalah "dewan", "badan", "lembaga", "tim", dan lain-lain.

1.5. Lembaga struktural di bawah kementerian negara
1.5.1. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (di bawah Kementerian Keuangan). Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (disingkat Bapepam-LK) adalah sebuah lembaga di bawah Kementerian Keuangan Indonesia yang bertugas membina, mengatur, dan mengawasi sehari-hari kegiatan pasar modal serta merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang lembaga keuangan. Ketua Bapepam-LK saat ini adalah Nurhaida. Bapepam-LK merupakan penggabungan dari Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan.

1.5.2. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (di bawah Kementerian Perdagangan).  Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, disingkat Bappebti, merupakan unit eselon I pada Kementerian Perdagangan Indonesia yang bertugas melaksanakan pembinaan, pengaturan dan pengawasan kegiatan perdagangan berjangka serta pasar fisik dan jasa. 

1.5.3. Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika).  


Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia disingkat BRTI adalah sebuah lembaga yang berfungsi sebagai badan regulator telekomunikasi di Indonesia.
2. Lembaga pemerintahan yang telah dibubarkan
2.1. Lembaga tinggi negara
2.1.1. Perdana Menteri
2.1.2. Dewan Pertimbangan Agung

2.2. Kementerian negara
2.2.1. Departemen Penerangan

2.3. Lembaga Pemerintah Non Departemen
2.3.1. Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata
2.3.2. Lembaga Informasi Nasional

2.4. Lembaga nonstruktural
2.4.1. Badan Penyehatan Perbankan Nasional
2.4.2. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk Aceh dan Nias
2.4.3. Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Kebijakan dan Reformasi

2.5. Lembaga struktural di bawah kementerian negara
2.5.1. Badan Akuntansi Keuangan Negara (di bawah Departemen Keuangan)

Struktur Pemerintahan  Sumatera Selatan
        Gubernur
        Wakil Gubernur
        Sekretariat Daerah
        Dinas
        Badan
        Banyuasin
        Empat Lawang
        Lahat
        Muara Enim
        Musi Rawas
        Ogan Ilir
        Ogan Komering Ilir
        Ogan Komering Ulu
        OKU Selatan
        OKU Timur
 Kota
        Lubuk Linggau
        Pagar Alam
        Palembang
        Prabumulih

1 komentar:

  1. tulisannya jangan berwarna jika ada latarbelakangnya, terimakasih.

    BalasHapus